NEWS UPDATE :  

Berita

Selamat Hari Kartini Ke-143 Tahun

Kami Keluarga SMA Negeri 1 Patimuan Mengucapkan Selamat Hari Kartini yang Ke 143 Tahun, 21 April 1879 - 21 April 2021
"Selamat Hari Kartini 2022 untuk semua perempuan-perempuan hebat masa kini."

Raden Ajeng Kartini merupakan sosok emansipasi yang mencetuskan lahirnya kesetaraan gender dan kesamaan kelas sosial dalam masyarakat Indonesia. R.A. Kartini sebagai ikon emansipasi wanita walaupun hanya mengenyam pendidikan sampai pada usia 12 Tahun, hal tersebut tidak menyulutkan api semangatnya untuk tetap belajar. Semangat Kartini untuk memperjuangkan kesetaraan dan kesamaan kelas sosial lahir dari pandangannya terhadap kemampuan dan kebebasan berfikir perempuan eropa pada masa itu, yang jika dibandingkan dengan kondisi perempuan Indonesia sangatlah tertinggal jauh. Latar belakang sejarah Indonesia menunjukkan bahwa perempuan ialah jenis kelamin yang berada pada strata kedua dalam masyarakat yang hanya berperan di “dapur, sumur, dan kasur.” Tilas sejarah inilah yang memenjara ruang gerak  perempuan hingga melahirkan stigma dalam masyarakat bahwa perempuan ialah sosok yang tidak setara dan sebanding dengan laki-laki. Perempuan dianggap tidak dapat memiliki peran yang besar dalam masyarakat, tidak layak untuk berpendidikan tinggi, tidak dapat menjadi seorang pemimpin negeri, bahkan hanya menduduki strata kedua yang berada dibawah kendali laki-laki.
Dari segi politik, pada hasil pemilu pemilihan presiden dan wakil presiden dan pemilihan legislative, nama-nama anggota DPR RI pada periode 2019-2024 yang bermunculan dari 575 Anggota DPR RI yang terpilih, hanya 118 perempuan yang terpilih atau sebesar 20,5%. Ini adalah pencapaian tertinggi yang pernah di raih Indonesia terkait representasi perempuan di politik. Untuk pertama kali representasi perempuan di DPR menembus angka 20% dan tentu perlu juga di telusuri dampak yang di hasilkan dari capaian ini. Faktanya, Indonesia merdeka selama 74 tahun dengan menggaungkan sistem demokrasi dan mendeklarasikan diri sebagai negara yang melindungi Hak Asasi Manusia, direntan tahun 2019-2024 persentase partisipasi perempuan dalam politik hanya mencapai 20,5%. Hal ini tentu sangat inkonsistensi dengan Pasal 28D (1) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Berdasarkan data tersebut, perlu dipertanyakan kembali kenapa kuota untuk perempuan hanya 30%. Apakah hasil ini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kebijakan-kebijakan di pemerintahan yang pro terhadap perempuan ataukah ini hanyalah formalitas masalah gender agar partai politik memenuhi standar yang di terapkan pemerintah?
Regulasi di Indonesia menetapkan bahwa ambang batas keterlibatan perempuan dalam partai politik hanya terbatas 30%. Angka tersebut hingga pada pemilu tahun 2019-2024 bahkan belum terpenuhi. Hal ini menjadi isu krusial yang perlu untuk dikaji, mengapa presentase angka 30% tapi yang tercapai hanyalah sebatas 20,5% ? Jika ditinjau dari sisi sejarah, hal ini bisa terjadi karena masih adanya kekhawatiran perempuan untuk menjadi seorang pemimpin yang biasanya hanya dilakukan oleh laki-laki. Tentu hal ini menjadi bekas stigma masa lalu yang masih melekat pada perempuan Indonesia.
Uraian diatas hanyalah ditinjau dari partisipasi perempuan dalam perspektif politik. Jika ditinjau dalam perspektif yang lebih luas, masih banyak perempuan saat ini yang menjadi korban stigma masa lalu. Contohnya, masih banyak perempuan yang ragu untuk berpendidikan tinggi karena adanya anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi akan menyaingi peran laki-laki serta menghilangkan marwahnya sebagai seorang istri. Padahal, keduanya dapat berjalan beriringan tanpa menanggalkan salah satu perannya.
Kartini adalah kita perempuan-perempuan masa kini. Sosok R.A Kartini yang telah tiada, tidak menjadikan apa yang diperjuangkannya menjadi mati. Seharusnya, kita yang menyandang gelar Kartini masa kini tidak lagi memelihara stigma buruk masa lalu dan mendorong diri sendiri untuk meningkatkan kapasistas dan kualitas diri. Jangan takut untuk bermimpi, jangan menyerah untuk sebuah pencapaian yang belum terealisasi dan jangan ragu untuk berdiri diatas kaki sendiri. Akhir kata, saya ingin mengutip pendapat Bass (1990) dan Klenke (1996) yang menyatakan bahwa “Perempuan untuk tampil sebagai pemimpin diibaratkan sebagai fenomena atap kaca atau gelas ceiling yaitu adanya hambatan yang seolah-olah tidak terlihat, tembus pandang, tetapi dalam kenyataannya merintangi akses perempuan dalam kaum minoritas lain dalam menuju kepemimpinan puncak.”


SELAMAT DATANG DI WEBSITE SEKOLAH SMA NEGERI 1 PATIMUAN